Polemik Pembengkakan Biaya Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) merupakan proyek dengan target awal penyelesaiannya direncanakan rampung pada tahun 2019 lalu dengan perhitungan biaya membutuhkan Rp86,5 triliun. Struktur pembiayaan proyek ini pada awalnya Rp57 triliun dari pinjaman yang bersumber bada China Development Bank (CBD). Sedangkan dana lainnya Rp19 triliun berasal dari modal PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Namun, pada tahun 2021 mega proyek ini dikabarkan mengalami pembengkakan Rp27,74 triliun, menjadi Rp114,24 triliun.
Sebelumnya, proyek KCJB ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai proyek murni yang dilakukan oleh BUMN dengan menggunakan skema business to business dan pemerintah berjanji bahwa biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China. Estimasi biaya proyek kereta cepat berkisar US$6,1 miliar dengan alokasi US$4,8 miliar untuk komponen konstruksi (Engineering-Procurement-Construction/EPC) dan US$1,3 miliar non-EPC.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, proyek mengalami pembengkakan biaya yang diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, alokasi biaya untuk EPC mengalami kenaikan hingga US$1,2 miliar karena adanya relokasi jalur utilitas, fasiiltas umum, dan fasilitas sosial US$100 juta, dan pekerja tambahan sebesr US$50 juta hingga US$100 juta. Kemudian, pembebasan lahan dengan kenaikan US$300 juta atau naik 35% dari alokasi anggaran awal dengan total area lahan yang dibebaskan naik 31% menjadi 7,6 juta m2. Ketiga adanya pembengkakan biaya keuangan sebesar US$200 juta yang disebabkan oleh keterlambatan proyek sehingga beban keuangan interest during construction membengkak. Selanjutnya kenaikan sebesar US$200 juta pada biaya kantor pusat dan pra operasi karena adanya keterlambatan proyek. Kelima, biaya GSM-R (Global System For Mobile Communication-Railway) dengan Telkomsel untuk keperluan komunikasi belum dianggarkan, mengalami kenaikan US$ 50 juta. Faktor-faktor lainnya adalah geologi dan geografi serta bencana banjir yang sering melanda Jakarta. Terlebih terdapat hambatan lain seperti pandemi COVID-19 yang melanda.

Siapa saja yang terlibat dalam kasus ini?
Dalam menjalankan mega proyek ini, BUMN membentuk usaha bersama yaitu PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia. Perusahaan tersebut menggenggam saham sebesar 60% di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dan sisa saham 40% digenggam konsorsium China. Sebelumnya, struktur pembiayaan KCJB adalah 75% dari nilai proyek dibiayai oleh China Development Bank (CBD) dan 25% dibiayai dari ekuitas konsorsium, dimana dari ekuitas tersebut 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas.
Seharusnya base equity capital yang harus dibayar oleh konsorsium keempat BUMN adalah PT Kereta Api Indonesia (KAI) senilai Rp 440 miliar, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk senilai Rp 240 miliar, PT Jasa Marga (Persero) Tbk senilai Rp 540 miliar dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) senilai Rp 3,1 triliun.
Solusi apa yang telah ditawarkan?
Adanya pembengkakan atau cost overrun maka menyebabkan skema pendanaan berubah. Pihak BUMN mengaku tidak menyanggupi untuk membayar dikarenakan dampak pandemi sehingga Indonesia harus membayar base equity dengan skema Penyertaan Modal Negara (PMN) melalui penyuntikan dana APBN ke proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) senilai Rp 4,3 triliun. Sedangkan pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun.
Presiden Joko Widodo selanjutnya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Presiden Joko Widodo mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung. Hal ini berkontradiksi dengan pernyataan sebelumnya yang berjanji untuk tidak menggunakan uang negara untuk mega proyek tersebut.
Biaya proyek tersebut dikabarkan masih dalam kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) secara paralel dengan manajemen KCIC sesuai dengan arahan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) dan Menteri Perhubungan. Hasil review dari BPKP tersebut direkomendasikan untuk menunjuk konsultan independen melakukan kajian dan memberikan masukan untuk penyusunan struktur pendanaan yang optimal. Diharapkan dengan menunjuk sejumlah konsultan angka pembengkakan biaya ini bisa ditekan menjadi US$ 1,675 miliar atau sekitar Rp 24 triliun.
Selain dari APBN, pendanaan proyek ini juga berasal dari utang yang diberikan oleh China, dengan keterangan resmi PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), struktur pembiayaan KCJB adalah 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh China Development Bank (CBD) dan 25 persen dibiayai dari ekuitas konsorsium. Dari 25 persen ekuitas dari ekuitas tersebut, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas. Apabila dua konsorsium tidak mampy membiayai proyek maka terdapat potensi pinjaman ke bank China tersebut.
Komentar terhadap solusi yang ditawarkan
Dana tersebut tetap ditanggung sebagai utang oleh konsorsium yang di dalamnya terdapat beberapa perusahaan BUMN yang terlibat yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) sesuai dengan rencana awal yaitu menggunakan skema business to business. Sehingga ketika terdapat salah satu perusahaan yang tidak mampu untuk memberikan biaya tambahan maka kepemilikan saham akan terdilusi.
Karena apabila skema berubah menjadi proyek Government to Business dengan pendanaan dibebankan kepada pemerintah dan APBN maka sangat merugikan terutama kondisi negara saat ini yang sedang dalam tahap pemulihan pasca pandemi COVID-19, dan proyek ini tidak memiliki urgensi tinggi dari APBN yang salah satunya menggunakan dana pemulihan negara. Mengingat langkah saat ini juga sudah jauh dari tahap uji kelayakan, seharusnya faktor-faktor penyebab pembengkakan biaya yang diakibatkan oleh faktor geologi dan geografi sudah diperhitungkan saat studi kelayakan. Beberapa kritik dan pakar ahli pun setuju bahwa pemerintah juga dapat mengoptimalkan sumber dana dari internal BUMN lainnya, dengan cara melakukan pembangunan wilayah Jakarta-Bandung yang dilintasi oleh kereta cepat sehingga inventasi yang ada tidak hanya bersumber dari kereta cepat namun BUMN di sektor industri.
Publikasi ini dalam rangka memenuhi tugas Critical Review
Kelas Pembiayaan Pembangunan A
Oleh Fildzah Nadilah Hanina 08211840000056
Referensi
Kronologi Biaya Bengkak Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (cnnindonesia.com)
5 Penyebab Anggaran Kereta Cepat Jakarta-Bandung Membengkak | Databoks (katadata.co.id)
Resmi! Proyek Kereta Cepat Dapat Suntikan Rp4,3 Triliun dari APBN — Ekonomi Bisnis.com
Amburadul, BPKP Audit Proyek Kereta Cepat Jakarta — Bandung (cnbcindonesia.com)
Menkeu Ungkap Asal Dana Kereta Cepat Jakarta-Bandung Rp4,3 Triliun — Ekonomi Bisnis.com
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dibiayai APBN, Berapa Jumlahnya? (suara.com)